Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom) |
Info1 Indonesia - Sepanjang sejarah, kita sudah sering konflik. Konflik
antaranak bangsa karena perbedaan suku, agama, atau karena hal lain.
Kerusakan yang ditimbulkannya tidak kecil. Kerusakan fisik dalam skala
triliunan rupiah. Tapi, yang lebih menyedihkan adalah korban jiwa
manusia.
Korban berbagai konflik itu sudah begitu banyak, terlalu banyak. Karena itu konflik harus dicegah, jangan sampai terulang.
Dari
begitu banyak konflik, sayangnya, kita tidak mendapat informasi yang
tegas soal apa latar belakangnya. Juga jarang ada tindakan hukum yang
memadai terhadap pelaku kejahatan selama konflik berlangsung. Yang ada
biasanya analisis pada level gosip, mencoba menjelaskan situasinya
secara teoretik.
Sesekali ada tim pencari fakta. Tapi, hasil kerjanya tak pernah jelas. Kalaupun ada, tidak ada tindak lanjut yang jelas.
Konflik
itu ada miripnya dengan kecelakaan; sebab-sebabnya bisa kita pelajari.
Kita sebenarnya bahkan bisa merasakan dan melihat. Hanya saja, dalam hal
konflik, ada faktor-faktor yang tak terlihat, sehingga sering kita
melihatnya sebagai potongan mozaik-mozaik. Yang menghubungkannya sering
kali adalah gosip-gosip tadi.
Sering kita dengar penjelasan, atau
analisis tentang konflik. "Ini bukan soal agama, ini semata soal
kesenjangan." Tapi, apakah kita bisa percaya kesenjangan saja bisa
menimbulkan konflik? Sesederhana sejumlah orang miskin menyerang orang
kaya? Tentu, tidak! Penjelasan tadi terasa seperti sebuah simplifikasi,
bahkan terkesan ingin menutupi fakta tertentu. Tentu saja faktor
kesenjangan ada. Tapi, apakah itu satu-satunya faktor?
Benarkah
tidak ada faktor agama yang bermain dalam konflik? Atau, sebenarnya
faktor itu yang dominan? Kalau ada, bagaimana detailnya? Hal-hal seperti
ini tidak pernah dibahas secara terbuka. Orang cenderung fokus pada
usaha memadamkan konflik belaka. Setelah itu, mereka mencoba
melupakannya. Atau, berpura-pura, seolah konflik itu kejadian insidental
saja. Padahal faktanya konflik itu berulang.
Kenapa tak mau
membahasnya? Saya khawatir, itu tanda adanya persoalan yang lebih besar.
Sedikit orang yang mau mengakui perasaan mereka soal agama lain. Banyak
orang yang tampil seperti orang yang menghargai keragaman, tapi jadi
berbeda saat berada dalam komunitas tertutup.
Tidak sedikit pula
yang bergaul baik dengan orang berbeda iman, tapi punya pikiran yang
sebenarnya radikal soal orang yang tak seagama dengannya. Demikian pula
soal etnis. Ada orang yang begitu rapat bergaul, berbisnis dengan
orang-orang dari etnis tertentu, tapi sebenarnya ia menyimpan stereotip
negatif tentang etnis tersebut.
Usaha-usaha dialog antaragama,
atau antaretnis bagi saya lebih sering merupakan seremoni belaka. Jarang
ada dialog yang benar-benar jujur soal apa yang kita rasakan, dan
bagaimana kita memandang kelompok lain. Padahal ini penting. Sering kali
kita tidak sadar soal apa efek tindakan kita terhadap pihak lain. Tanpa
umpan balik dari mereka, kita seperti tak punya cermin untuk melihat
diri kita sendiri.
Menurut saya, penting bagi kita untuk punya
forum dialog, tempat kita bisa bebas mengatakan apa yang kita rasakan
tentang pihak lain. Termasuk soal hal-hal yang tak ingin mereka dengar
sekalipun. Sebaliknya, pihak sana juga boleh bicara dengan cara yang
sama tentang kita. Kita perlu melihat sosok kita masing-masing, dalam
pandangan orang-orang di pihak lain.
Kongkretnya bagaimana? Saya pernah berdialog melalui mailing list
lintas agama. Ketika itu ada kejadian gereja dibakar. Tentu saja itu
menjadi keprihatinan teman-teman Kristen. Saya sampaikan bahwa dalam
ajaran Islam, merusak rumah ibadah orang adalah perbuatan terlarang.
Bahkan dalam suasana perang pun hal itu terlarang. Lalu, kenapa orang
sampai jadi begitu?
Saya jelaskan soal psikologi umat Islam
dalam memandang agama Kristen. Saya katakan bahwa ada orang-orang
Kristen yang begitu agresif melakukan penginjilan, dengan target
menambah jumla pengikut. Itu sungguh meresahkan bagi umat Islam. Bagi
mereka, agama Kristen adalah ancaman. Tak sedikit teman-teman Kristen
saya yang terkejut dengan pernyataan itu.
Mereka tak menolak
adanya kelompok seperti itu di tubuh umat Kristen, tapi memberi catatan
bahwa kelompok seperti itu hanya minoritas di kalangan mereka. Tapi,
peringatan saya itu membuat mereka menjadi lebih mawas diri. Seperti
itulah.
Tak ada yang perlu ditakutkan dengan dialog yang jujur
dan berterus terang. Syaratnya, kita ingin cari solusi, bukan mencari
pihak lain untuk disalahkan. Bagi saya, ini adalah langkah penting untuk
mengurai ketegangan antarkelompok, yang menjadi bahan bakar konflik.
Oleh : Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.
Sumber : detik.com
(op/adm)
0 komentar:
Posting Komentar